Cerpen romance singkat
By
Unknown
On
23.58
Cerpen adalah jenis karya sastra yang berisi cerita atau kisah manusia beserta seluk beluknya.
Cerpen terdiri dari beberapa struktur, yaitu :
- Orientasi (berisi perkenalan tokoh)
- Komplikasi (masalah-masalah yang sedang terjadi atau sedang dialami tokoh
- Resolusi (berisi penyelesaian masalah atau cara tokoh menyelesaikan masalah)
Berikut adalah contoh cerpen bertema romance. Cerpen ini aku buat untuk ujian praktek. Selamat membaca!
Go
to Heaven
“Kamu
cantik!” Kata Harry Styles dengan senyum manisnya yang menggodaku. Aku
tersenyum malu menatapnya. Oh my God,
betapa beruntungnya aku, baru berumur 18 tahun, sudah menjadi milik Harry. Ini
semua seakan hanya mimpi. Ia mendekatiku perlahan. Ya Tuhan, wajah tampannya
mendekati wajahku. Semakin dekat, dan aku pun memejamkan mataku, takut melihat
apa yang akan terjadi. Tiba-tiba, dia meneriaki namaku dengan keras “ROSE!!!”
“ROSE!!! Ayo cepat bangun, ini hari pertama
kuliahmu!” Oh, Harry kamu sangat peduli padaku. “Mama hitung sampai tiga. Kalo ga
bangun, mama siram. Mama mulai, SATU…!!!” Mama? Loh, kok mamaku disini?
“DUA…!!!” Halah, mungkin cuma halusinasiku saja.
“TIGA!!!” Byuurrr… Aku kaget dan tersontak bangun dari tempat-ku. Aku melihat
sekeliling. Ini adalah kamar tidurku. Ya, hanya mimpi. “Cepat mandi! Kamu
kuliah nak.” tegas mamaku. Oh iya, hari pertamaku. Aku kuliah di Universitas Indonesia Jakarta. Aku
bergegas mandi dan bersiap.
Setelah memarkir sepeda motorku, aku
bergegas masuk mencari kelas jurusanku. Dengan tergesa-gesa, aku berlari kecil.
Karena terlalu tergesa dan tidak melihat jalan, aku tak sengaja menginjak
sesuatu, dan aku terjatuh menimpa seseorang didepanku. Bruukkk… “Duh! Kalo jalan lihat-lihat dong”
“Maaf, tadi aku tergesa-gesa.” jawabku
tanpa melihat orang itu.
Setelah membenahi diriku yang tadinya
agak berantakan, akhirnya aku melihat orang itu. Seorang lelaki yang badanya
agak tinggi jika dibandingkan denganku. Tinggiku saja sudah 169 cm, apalagi dia,
batinku. “Apa kamu maba?” tanyanya
tiba-tiba. Aku mengangguk. Ia menyuruhku mengkutinya, aku pun mengikutinya.
“Kita sampai” katanya. Aku terdiam
beberapa detik, memperhati-kan seisi kelas yang sangat gaduh. Aku berbalik dan
hendak mengucapkan terima kasih. Namun, orang itu sudah pergi. Hisshhh, aku bahkan belum menanyakan
namanya. Dasar orang tak tahu terima kasih, makiku pada diriku. Aku pun
memasuki kelas dan mengambil bangku nomor dua dari belakang.
Aku duduk selama lebih dari setengah jam,
ini sangat membosan-kan. “Sangat membosankan, ga ada teman. Tidak ada satu orang pun yang mengajakku berkenalan.
Kalau begini jadinya, aku bakal frustasi untuk masuk kuliah. Terus semesternya
jadi banyak, uangku habis dan aku pun menjadi gelandangan. Haisshh..” keluhku kesal sendiri sambil memukul-mukul kepalaku
tanda frustasi.
“Sstttt..
berisik banget sihh. Kalau ga punya
teman, ga usa curhat.” sahut seorang lelaki disampingku.
SKSD!
Aku tak mengenalnya, tahu pun tidak. Biar kelihatan cool, aku hanya meliriknya dengan tatapan judes. Ketika aku mau
memaling-kan mata, mataku menolak. Mataku terus meliriknya. Aku ingin berpaling,
tapi tidak bisa. Dewi batinku terlalu terpesona dengan wajah tampannya. Gayanya
yang cool juga membuat mataku semakin
betah melihatnya. Dasar gila, batinku.
“Apa aku terlalu ganteng, sampe-sampe kamu terus melirikku?” Pertanyaan
lelaki itu sontak membuyarkan lamunanku. Menyadari pertanyaan itu, aku sangat
malu. “Ihhh, jijik! Siapa juga yang ngelirik kamu. Ada kotoran menempel di
pipimu tau!” kataku bohong. Ia menatapku
sambil mengusap pipinya. Lalu, ia berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar.
Aku hanya menatapnya yang berjalan memunggungiku. Sebelum ia keluar kelas, ia
menoleh. Ia tersenyum sambil mengedipkan mata padaku. Lesung pipitnya
membekukanku. Aku hanya menatapnya bingung. Baru beberapa menit aku bertemu
dengannya. Kita bahkan belum berkenalan. Tapi ia sudah mem-perlakukanku
layaknya kita sudah akrab. SKSD,
batinku.
Setelah agak lama, akhirnya dosen datang.
Dari tampangnya, aku bisa menyimpulkan bahwa dia adalah dosen killer yang suka meme-lototi orang. Dosen
itu menyapa kami semua dengan cuek. Dasar, dosen sombong! “Saya Dorothy, Dosen
Kimia. Saya mengenalkan diri karena saya melihat seorang maba yang sedang menilai saya. Kenalkan dirimu!” Mendengar hal itu,
sontak aku melebarkan mata dan berdiri. Seketika itu juga, seluruh mata tertuju
padaku. Memang benar dugaan-ku, dia adalah guru killer. Mengapa dia bisa membaca pikiranku? Pikirku bingung.
Mungkin ia juga nenek sihir, ledekku dalam hati. Aku pun maju ke depan. Meski
sedikit gugup, aku tetap memperlihatkan ke-tenanganku.
“Perkenalkan saya…” Srak! pintu terbuka. Sekarang, semua mata tertuju pada pintu itu.
Aku pun ikut melihat pintu itu. Lelaki tampan itu berdiri sejenak di dekat
pintu sambil menatapku dan memberikan senyum kecutnya. Meski hanya senyum
kecut, rasanya masih manis karena lesung pipitnya.
Aku pun melanjutkan perkenalanku. “Saya
Rose Tate, kalian bisa memanggilku Rose. Aku lahir tanggal 16 Desember 1998 di
Bali, Indonesia. Aku suka coklat, tapi tidak suka permen. Aku bukan tipe orang
yang jahat juga bukan tipe orang yang terlalu baik. Kuharap kalian menyukaiku.”
“Aku sudah menyukaimu” teriak lelaki itu
dari belakang, membalas perkenalanku. Aku mengabaikannya dan kembali ke tempat
dudukku. Dosen itu memandangi lelaki tampan disebelahku dengan wajah memaki.
“Sudah lama sekali tak melihatmu Jack
Rush. Tampaknya tak ada yang mengenalmu disini.” Rush? Siapa itu? Tiba-tiba
lelaki itu berdiri dan maju ke depan kelas.
“Namaku Jack Rush. Kau bisa memanggilku
Jack. Kuharap kalian tidak menyesal berada di kelas ini.” Ia hanya menatapku
seolah ia hanya memperkenalkan diri padaku saja. Oh, jadi namanya Jack, Rush,
Jack Rush. Nama yang cool sama
seperti orangnya.
***
Sepulang sekolah, aku menyempatkan untuk
ke toko buku. Tanpa sengaja aku melihat sosok laki-laki yang familiar di mataku. Aku mengulang
memoriku di kuliah dan aku berhasil mengingatnya. “Hey!” sapaku padanya. Ia
lelaki yang telah kutabrak tadi pagi.
“Oh, hai! Ngapain kau disini?” balas
lelaki itu sekaligus bertanya.
“Mencari majalah. Kalo kau?” tanyaku sama sepertinya sambil menaikkan salah satu
alisku.
“Entahlah,
membeli kado.” jawabnya sambil mengedikkan bahu. Karena penasaran, aku pun
bertanya “Untuk siapa?”
“Sahabatku.” jawabnya singkat.
“Oh.. Mau kubantu? Aku pintar dalam
memilih buku.” tanyaku sambil menyombongkan diri. Ia mengedikkan bahunya lagi
lalu pergi mencari buku. Aku mengikutinya sambil mencari majalah yang ingin
kubeli. Kulihat ia mengambil salah satu novel bercover biru muda. Ia membaca
sinopsisnya. Lalu tatapannya berpaling ke arahku.
“Hey, siapa namamu?” tanyanya dengan
santai. Aku pun mem-beritahukan namaku dan bertanya balik padanya.
“Maxon. Panggil aja Max. Rose, apakah ini novel bagus?” ta-nyanya sambil
menyodorkan novel itu padaku. Aku pun mengambil dan membacanya. Go to Heaven, judulnya. Novel ini
berkisahkan perjuangan seorang lelaki yang mempertaruhkan kehidupan demi
cintanya.
“Kuakui aku menyukainya. Ternyata, kau
pintar memilih novel.” jawabku tersenyum lebar. Ia hanya mengedikkan bahu dan
tertawa. Aku pun tertawa. Kami berbincang banyak tentang novel terbaik yang
pernah dibaca. “Btw, makasih udah
mengantarku ke kelas tadi pagi.” ucapku usai berbincang dengannya.
***
Keesokan harinya, aku memutuskan datang
ke kuliah lebih pagi. Sesampainya disana, aku mengitari kuliahku dan tiba di
balkon lapangan lari. Dari balkon ini, lapangan terlihat sangat luas. Bentuknya
juga menyerupai stadion sepak bola. Aku memutuskan untuk duduk di salah satu
bangku penonton yang tepatnya berada di baris tiga dari depan. Aku membaca
novel yang kubeli sama seperti Max, Go to
Heaven.
“Hey pretty!
Sedang memperhatikanku?” Jantungku berdetak kencang. Aku yakin, ia adalah Rush.
Dan benar dugaanku. Ia berdiri di balik pagar, pembatas antara balkon dan
lapangan. Aku berlagak sok mahal. Aku menatapnya sekilas, berbalik lalu pergi
meniggalkannya. “Come on, jangan
pergi… Aku hanya bercanda. Jika kau kembali, aku tak kan mengganggumu. I swear.” mohonnya dengan nada agak
menyesal.
“Kupegang kata-katamu!” kataku berlagak
mengancam. Dia meng-acungkan kedua jarinya, tanda peace. Aku pun duduk di tempat tadi dan kembali membaca novelku.
Aku meliriknya sedikit, dan ia sedang menatapku. Berulang kali aku meliriknya
lagi, ia sedang menatapku. Karena risih, aku balas menatapnya sengit.
“What?”
tanyaku agak kesal.
“Sudah kubilang, kau cantik.” jawabnya
sambil tertawa. Aku tak membalas tawanya. Aku hanya menatapnya diam. Lalu ia
pun menghentikan tawanya. Dia tersenyum padaku, menunjukkan lesung pipitnya.
Lalu menatapku beberapa detik. “Besok, jika kau ga ada acara.. Nontonlah bersamaku!”
“Kalo
ga mau, gimana?” tanyaku balik.
“Kau harus mau! Kalau tidak aku akan
menangis sepanjang malam, dan kau harus bertanggung jawab. Aku mengajakmu
dengan status teman. Jadi ga masalah kan kita nonton bersama?” jelasnya. Aku
mengangkat salah satu alisku dan menatapnya, lalu tertawa. “Alay!” ejekku padanya. Dia tertawa.
Harapanku sih lebih, batinku.
“Okelah, jam berapa? Dimana?” tanyaku
sambil menahan senyum. “Besok, jam enam sore, kujemput kau di rumahmu” jawabnya
sambil tersenyum lega. Aku pun berbalik dan berniat pergi dari tempat itu.
Karena aku tidak bisa menahan senyumku lagi.
“Tate! Kemarilah sebentar!” teriaknya
karena aku hampir mendekati pintu keluar. Aku berbalik. Ia menggerakkan
kepalanya, mem-berikan kode agar aku ke arahnya. Aku pun berjalan ke arahnya.
Aku berhenti di barisan bangku nomor dua. Ia mengisyaratkan agar aku lebih
dekat. Aku pun turun satu tangga dan berada di depan bangku nomor satu. Dari
sini, aku bisa melihat Rush penuh dengan keringat. Itu membuatnya terlihat
sangat cool.
“Kemarilah, dekatkan telingamu! Aku mau
mengatakan rahasia penting padamu.” katanya sambil mengedipkan mata padaku. Aku
pun mendekatkan telingaku ke wajahnya yang terhalang oleh pagar bersekat. Jantungku
berdetak sangat kencang, Dag… Dig… Dug…
Dag… Dig… Dug…
“I
LOVE U, Tate!” bisiknya. Deg!
Jantungku serasa berhenti berdetak. Lalu ia kembali berlari dan meninggalkanku.
Aku terdiam dan langsung berbalik badan. Aku juga menyukaimu Rush. Semoga kau
peka, batinku. Aku tersenyum bahagia. Aku merasa seperti… go to heaven.
Setelah
kejadian itu, aku menuju ke kelasku. Aku mengambil tempat duduk di paling depan.
Aku berniat menjaga jarak dari Rush hingga esok. Kejadian tadi sangat melekat
di memoriku dan membuatku malu bertemu dengannya. Selama pelajaran berlangsung,
aku senyum-senyum sendiri membayangkan hal yang terjadi tadi pagi. Aku berharap
pelajaran ini cepat berakhir, takut kalau-kalau ada yang melihatku salting. Akhirnya pelajaran berakhir, aku
memutuskan langsung pulang. Aku mengistirahatkan tubuhku dalam khayalan indah,
berharap esok kan datang lebih cepat.
***
Keesokan harinya, pukul tiga sore, aku
sudah bersiap-siap. Takutnya, dia datang lebih awal. Aku menunggunya. Waktu
terus berputar, hingga jarum jam menunjukkan angka lima. Aku sangat bosan, dan
akhirnya memutuskan untuk menghirup udara luar. Ketika aku membuka pintu
keluar, aku langsung berhadapan dengan seorang lelaki, Rush. “Ehmm... Hai Tate!”
“Rush? Sejak kapan kau disini”? tanyaku
dengan perasaan yang sama sepertinya. Gugup. Ya, kurasa itu yang kita rasakan
sekarang. Ia bilang, ia telah menungguku dari pukul tiga, hanya saja ia takut
untuk menekan bel rumahku. Setelah beberapa percakapan yang agak canggung, kami
memutuskan untuk menuju ke bioskop. Selama film bermain, kita diam seribu
bahasa. Kita hanya saling menautkan jemari kami sambil menikmati film yang
sedang ditayangkan. Setelah menonton, kita pergi ke tempat makan. Kami tetap
diam hingga makanan kami sudah lenyap tanpa sisa.
“Kurasa kita tidak cocok jika hanya
berteman. Aku ingin lebih dari sekedar teman.” Pernyataannya di tengah
keheningan kami. Aku bingung mencerna kata-katanya. Antara dia tidak mau
berteman denganku atau alasan lainnya. Aku pun menanyakan apa maksud
pernyataannya.
“Kita perlu lebih dari sekedar teman. Maukah
kau …...?” jawabnya disertai pertanyaan yang mengambang. Aku mengangkat salah
satu alisku, mengisyaratkannya untuk melanjutkan pertanyaan.
Ia menatap mataku dengan lekat dan mulai
berkata, “Aku mencintaimu. Aku mau kamu jadi orang terakhir dalam hidupku.
Maukah kau jadi orang terakhir dalam hidupku, Tate?”
“Bagaimana bisa? Kau baru mengenalku
sekitar dua hari yang lalu. Apa kau mau mempermainkanku?” Tanyaku dengan
perasaan yang bercampur aduk.
“Aku sudah memikirkannya dengan matang.
Jika kita jadian dengan cepat, kita bisa menghabiskan waktu lebih lama. Aku
tidak akan pernah mempermainkanmu. Percayalah, aku serius. Sangat sangat
serius!” katanya dengan mantap. Aku tak menyangka dia bisa berkata seperti ini.
Wajahnya memang menyiratkan keseriusan yang amat pasti. Aku tak bisa menahan
senyumku lagi. Aku pun mengatakan ya. Sepertinya, sekarang wajahku sedang memancarkan
aura kebahagiaan. Setelah kami resmi berpacaran, Rush mengantarku pulang.
Sebelum aku turun dari mobil, Rush
menahan tanganku. Lalu, ia berteriak di dalam mobil, “I LOVE U, TATE!”
Aku tertawa, dia tertawa, dan kami saling
bertatapan. Setelah tawa kami berhenti, kami bertatapan dalam diam. Aku berkata
dengan penekanan pada namanya “I love u
too, RUSH!” Setelah mengatakan hal itu, aku bergegas turun dari mobilnya
dan berjalan masuk ke halaman rumah. Setelah sampai di depan pintu rumahku, aku
berbalik dan melihatnya sekali, lalu menutup pintu rumahku. Saat ini, aku
sedang bahagia. Aku sangat bahagia. Untuk kedua kalinya, aku merasa… go to heaven.
***
Sudah dua tahun sejak kami resmi
berpacaran. Kini, aku sudah tau siapa sahabat karibnya Rush. Max lah
sahabatnya. Ternyata, Max membeli buku itu untuk Rush. Semua orang memanggil
nama depan kami. Jadi kami memutuskan memanggil satu sama lain menggunakan nama
belakang. Tate, Rush. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Kami suka menonton.
Kami membaca novel yang sama, Go to
Heaven. Kami sering berenang di kolam anak kecil, karena aku tidak bisa
berenang. Terkadang kami memiliki masalah kecil yang menyebabkan pertengkaran.
Tetapi kami selalu bisa menyelesaikannya bersama. Jadi, kurasa kami adalah
pasangan paling bahagia di muka bumi. Hingga suatu masalah aneh menimpa kami.
Sejak awal November, Rush tidak mau
bertemu denganku. Ia bahkan tidak menghubungiku dan tidak membalas satu pun SMS
dariku. Entah apa alasannya, itu membuatku sangat kesal. Tiba saatnya, aku
berulang tahun yang ke 21. Aku memutuskan untuk menetap di rumahku tanpa merayakannya,
apalagi dengan Rush. Aku marah dengannya.
Bippp…
Bippp… handphoneku berdering. Aku
berharap itu SMS dari Rush. Harapanku
terkabul. Tapi isinya membuatku diam mematung. “Ini Max. Cepat temui aku di
Rumah Sakit Pelita! SEKARANG! PENTING!”
Tanpa membalas pesan itu, aku langsung menuju
mobilku. Aku mengendarai mobilku secepat yang aku bisa. Aku pun tiba di Rumah
Sakit Pelita. Segera aku masuk dan mendapati Max disana. Ia mengantarku ke
sebuah ruangan, dan disana aku menemukan seorang yang selama ini kurindukan,
Rush. Ia terbaring di kasur itu dengan wajah yang sangat pucat. Aku pun
menyapanya “Rush?”
Ia tersenyum dan membalasku dengan suara
yang hampir tak bernyawa. “Happy Birthday,
Tate”
“Oh thanks
Rush. I miss you so bad” jawabku dengan
lirih. Tak kusadari air mataku menetes. Aku mendekatinya dan memegang tangannya
erat., lalu mengecupnya lama. Aku tidak bertanya mengapa ia disini. Aku hanya
merindukannya. Semua amarahku hilang begitu melihatnya.
Ia menatapku sambil tersenyum. Lalu ia
memejam perlahan sambil berbisik padaku, “I
LOVE U, TATE!”
“I
LOVE U TOO, RUSH! I LOVE U!” teriakku membalasnya. Seketika itu, ia benar-benar
terpejam. Monitor menggambarkan garis lurus dan berbunyi. Aku langsung memeluk
Rush dengan sangat erat. Aku menangis. Aku menangis dalam peluknya. Ia pacar
terbaikku. Ia kekasihku. Ia calon suamiku. Ia hidupku. Aku tak sanggup menerima
takdir ini. Aku benci dengan takdir ini. Mengapa Tuhan hanya mengambilya?
Kenapa harus Rush? Kenapa tidak kita berdua? Aku mencintainya, Tuhan. Sangat
sangat mencitainya. Aku ingin selalu bersamanya. Berada di pelukkannya membuatku seperti go to heaven. Sekarang ia sudah tiada,
aku tidak bisa merasakan apapun. Jantungku, hatiku, semuanya terasa hilang.
***
Hari ini adalah hari Rush akan
dimakamkan. Orang tuaku meng-hadiri pemakamannya, sedangkan aku tidak. Aku
tidak sanggup pergi ke sana. Aku menetap di kamarku dan menangis. Aku
meneriakkan nama Rush, tapi ia tak kunjung datang. Aku terus menangis membiarkan
air mataku terbuang percuma.
Seseorang mengetuk pintuku dan masuk ke
kamarku. “Rose, ikutlah denganku. Ada sesuatu yang ingin Rush tunjukkan
padamu.” ajaknya. Karena aku hanya diam sambil menangis, Max membopongku ke
mobilnya dan mengantarku ke suatu tempat. Di tempat ini, terdapat rumah
sederhana yang terbuat dari kayu. Rumah ini dikelilingi rerumputan dan taman
yang berwarnawarni. Tempat ini sangat indah dan sangat berlawanan dengan
perasaanku sekarang. Max menarikku masuk ke dalam rumah itu. Aku mendapati
banyak kelopak bunga yang diatur membentuk sebuah hati. Di tengah hati itu
tertuliskan “RUSH dan TATE” dengan ukiran yang sangat indah. Di dinding rumah
itu terdapat banyak fotoku, foto Rush, dan foto kami bersama.
“Rush memberikan rumah ini sebagai hadiah
ulang tahunmu. Ia sengaja membuat ini, sebelum kanker dalam tubuhnya
menggerogoti hidupnya. Ia sangat mencintaimu. Ia begitu merindukanmu. Aku ingin
memberitahumu tentang hal ini. Tapi, Rush melarangku. Ia mau menghabiskan sisa
hidupnya dengan melihat senyummu. Ia tidak mau melihatmu sedih karena hal ini.
Maafkan aku Rose.” kata Max dengan penyesalannya yang begitu besar. Aku
menangis terisak-isak, berteriak memangil Rush, menghina diriku yang begitu
bodoh. Max memelukku, mendiamkanku dalam dekapannya. Tapi aku terus menangis,
aku tak bisa menghentikannya. Aku membenci diriku. Aku membenci ulang tahunku.
Aku benci cinta. Aku benci, Rush benar-benar… “go to heaven”.
karya : Michelle Jeanie